Cara wudhu orang sakit yang baik dan benar. Disini kita akan menjelaskan bagaimana cara bersuci thaharah bagi orang sakit. Berikut penjelasannya Yang pertama. Bagi orang yang dalam kondisi sakit di wajibkan tetap bersuci dengan air, dengan berwudhu ketika hadats ashgor hadist kecil. Kalau terkena hadats akhbar hadats besar. Diwajibkan untuk mandi wajib. Yang kedua. Kalau tidak bisa bersuci dengan air karena tidak mampu atau ada kekhawatiran sakitnya bisa tambah parah, bisa dialihkan dengan diwajibkan untuk tayamum. Yang ketiga. Ubtuk tata cara tayamum , dengan menepuk kedua telapak tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan , baru mengusap bagian wajah dengan kedua telapak tangan tadi, baru mengusap kedua telapak tangan satu sama lain. Yang keempat. Kalau saja orang ini kondisi sakitnya tidak memiliki kemampuan untuk bersuci sendiri. Bisa dibantu dengan orang lain dalam melakukan wudhu ataupun tayamum. Contoh saja kalau tayamum. Orang yang membantunya untuk bertayamum tersebut menepuk kan kedua telapak tangannya di tanah yang suci, bau ia mengusap wajah orang yang sakit tersebut yang tidak mampu berwudhu. Kalau saja masih bisa memakai air , maka orang lain bisa juga untuk membantunya untuk berwudhu orang lain itu yang membasuh anggota tubuhnya ketika wudhu. Yang kelima. Kalau saja di bagian anggota tubuh yang harus disucikan terdapat luka, maka luka itu wajib dibasuh dengan air. Jikalau luka tersebut terkena air, membuat luka tambah parah. Maka bisa di bagian luka diusap dengan tangan yang basah tadi. Kalau diusap juga bisa bertambah buruk maka boleh bersuci dengan tayamum. Yang keenam. Kalau saja pada bagian tubuh yang akan dibasuh mengalami patah, dan terbalut dengan kain perban atau gips, cukup bagian anggota tubuh yang tadi itu diusap dengan air sebagai ganti dari membasuh. Pada kondisi luka yang diperban seperti ini tidak perlu melakukan tayamum dikarenakan mengusap adalah sebagai pengganti dari membasuh.
Makawanita istihadhah ia bersihkan darahnya lalu letakkan secarik kain atau tisu di kemaluannya lalu ia wudhu setiap kali akan shalat. Demikian pula orang yang selalu memakai kateter atau pampers karena sakit. Ia bersihkan najis lalu pakai pampers dan wudhu setiap kali akan shalat. Satu wudhu untuk satu shalat.
Pertanyaan Sastro, bukan nama sebenarnya Bagaimana tata cara bersuci dan shalat bagi penderita sakit stroke. Di mana kondisi tangan dan kaki kanan tidak bisa digerakkan, dan ingatannya sudah banyak lupa, bahkan tidak bisa berbicara? Jawaban Ustadz Zainol Huda Pertama-tama, yang perlu dipahami adalah bahwa media untuk menghilangkan hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar, dalam Islam dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berwudhu dan mandi besar. Jika dua cara tersebut tidak dapat dilakukan karena uzur syarโi sebab yang dibenarkan syariat, maka alternatif selanjutnya bertayammum. Selama seseorang masih bisa menggunakan air sebagai media bersuci, maka wudhu dan mandi tetap dapat dilakukan, meskipun menggunakan bantuan orang lain karena sakit. Namun, jika tidak bisa menggunakan air, tayamum menjadi pilihan satu-satunya sebagai media bersuci. Jika tidak mampu melakukan sendiri dalam bersuci, maka ia dapat meminta bantuan orang lain untuk melaksanakannya. Misalnya, meminta anak atau siapa pun untuk mewudhukannya dengan air atau mentayamumkannya saat ia tidak mampu melakukannya sendiri. Shalat orang sakit Terkait dengan pelaksanaan shalat lima waktu saat kondisi normal dan sehat, maka berdiri merupakan rukun shalat yang mendominasi. Hitungan rakaat dalam shalat pun didasarkan terhadap pengulangan berdiri pasca melakukan sujud yang kedua. Para ulama fikih sepakat bahwa kewajiban berdiri dalam shalat menjadi gugur bagi orang yang tidak mampu melakukannya. Beragam faktor yang menjadikan mushalli orang yang melaksanakan shalat termasuk dalam kategori tidak mampu berdiri al-ajz an al-qiyam. Pertama, faktor fisik. Misalnya, karena usia atau sakit yang menyebabkan tubuh tidak mampu berdiri. Kedua, non-fisik. Misalnya, faktor situasi dan kondisi di luar tubuh. Beberapa faktor non-fisik yang dapat menggugurkan kewajiban berdiri dalam shalat antara lain 1. Orang yang shalat telanjang dikarenakan tidak menjumpai pakaian untuk menutup auratnya. Menurut mayoritas ulama fikih, selain mazhab Syafii, orang tersebut harus melaksanakan shalat dengan cara duduk. 2. Kondisi gawat atau bahaya yang dapat mengganggu konsentrasi khusyuโ. Misalnya, shalat dalam perahu atau kapal yang sedang berlayar. Seandainya ia shalat berdiri, maka dikhawatirkan ia akan jatuh ke laut atau membuat kepala pusing mabuk laut karena goncangan ombak yang dapat mengganggu konsentrasi shalat. Hal ini mencakup juga ketika berada di dalam pesawat, bus, dan kereta api yang tidak memungkingkan untuk melakukan shalat berdiri, bahkan mungkin membahayakan diri sendiri dan orang lain. 3. Orang yang mempunyai penyakit beser suka kencing terus menerus. Seandainya ia shalat berdiri, maka ia akan mengeluarkan air seni terus menerus, tetapi jika ia shalat sambil duduk, maka ia tidak keluar air seni. 4. Pasien dalam masa pengobatan. Jika shalat berdiri akan mengeluarkan darah dari luka yang terdapat di tubuhnya atau membuat dirinya semakin sakit. Orang yang tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri, maka ia dapat melakukan shalat mengikuti urutan opsi atau pilihan hirarki shalat sesuai kondisi dan kemampuannya. Rasulullah ๏ทบ bersabda ุตูููู ููุงุฆูู ูุงุ ููุฅููู ููู ู ุชูุณูุชูุทูุนู ููููุงุนูุฏูุงุ ููุฅููู ููู ู ุชูุณูุชูุทูุนู ููุนูููู ุฌูููุจู Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu shalatlah dengan duduk, jika tidak mampu shalatlah dengan berbaring HR. Bukhari no. 1117. Berdasarkan hadis ini, para pakar fikih kemudian memberikan rumusan opsi hirarki terhadap orang yang tidak mampu melaksanakan shalat berdiri dengan segala kemungkinannya. Opsi selanjutnya setelah berdiri adalah shalat dengan cara duduk. Menurut ulama mazhab Maliki dan Hanbali, posisi duduk yang dianjurkan adalah duduk bersila, kecuali pada saat sujud, duduk di antara dua sujud, dan saat tahiyat mazhab Maliki, dan kecuali rukuk serta sujud mazhab Hanbali. Sementara itu, menurut ulama mazhab Hanafi dan Syafii dianjurkan posisi duduk seperti tahiyat awal, kecuali pada saat sujud dan tahiyat akhir. Dibolehkan juga melakukan shalat sambil duduk di kursi jika hal itu memungkinkan dan diperlukan. Selanjutnya, jika tidak mampu dengan cara duduk, maka shalat bisa dilakukan dengan cara berbaring dengan posisi tubuh miring, sehingga wajah menghadap ke arah kiblat. Diutamakan miring ke sisi kanan, dengan posisi kepala berada di arah utara dan kaki di arah selatan. Jika miring ke sisi kanan dirasa sulit, maka miring ke sisi kiri dapat menjadi pilihan. Urutan berikutnya, jika tidak mampu berbaring dengan posisi tubuh miring, maka shalat dengan posisi tidur terlentang dengan cara posisi kaki menjulur ke arah kiblat dengan kepala diganjal bantal agar wajah dapat menghadap ke arah kiblat, kemudian melakukan rukuk dan sujud dengan gerakan semampunya. Gerakan awal cukup berisyarat dengan anggukkan kepala untuk menunjuk gerakan rukuk dan sujud. Jika masih tidak mampu dengan gerakan isyarat kepala, cukuplah dengan isyarat kedipan mata. Jika sudah tidak mampu berisyarat dengan kedipan mata, maka terakhir menjalankan rukun dan sunah shalat dalam hati dan pikiran. Namun, menurut ulama mazhab Hanafi, opsi terakhir adalah isyarat dengan anggukan kepala, sementara untuk isyarat lainnya dalam shalat sudah tidak dianggap bagian dari shalat. Sahabat KESAN yang budiman, ulama berbeda pendapat tentang opsi terakhir bagi orang yang tidak bisa melaksanakan shalat secara normal dikarenakan kondisi fisik yang lemah, bahkan untuk melakukan gerakan rukun fiโliyah gerakan fisik. Menurut ulama mazhab Hanafi, opsi terakhir yang paling mudah dilakukan adalah berisyarat dengan gerakan kepala. Sedangkan ulama mazhab Maliki adalah berisyarat dengan kedipan mata. Adapun ulama mazhab Syafii dan Hanbali adalah dengan cara menjalankan semua rukun dan sunnah shalat dalam hati dan pikiran dengan membayangkan gerakan-gerakan shalat. Meski demikian, penting untuk menjadi pedoman bahwa seluruh ulama sepakat kewajiban shalat tidak pernah gugur selama akal masih normal, karena barometer taklif pembebanan hukum adalah akal. Selama masih bisa mengerjakan shalat dengan opsi-opsi yang dirumuskan oleh para ulama fikih, maka shalat tetap harus dikerjakan dan tidak wajib mengqadha. Kecuali bagi orang yang tidak mampu melakukan dengan cara isyarat gerakan kepala, maka khusus dalam mazhab Hanafi orang tersebut wajib mengqadha. Nah, terkait pertanyaan sahabat KESAN tentang shalat orang yang pikun, maka ia wajib shalat hanya ketika ia dalam keadaan sadar atau ingatannya normal tidak dalam kondisi pikun. Misalnya, ketika waktu shalat Asar tiba ingatannya si A pulih dari pikun, maka wajib bagi si A untuk melakukan shalat Asar sesuai kondisinya plus mengqadha shalat Zuhur yang tidak sempat si A lakukan karena masih dalam kondisi pikun. Dengan demikian, kewajiban shalat bagi orang yang pikun adalah wajib shalat ketika ia dalam kondisi sadar atau ketika ingatannya kembali normal, tapi ketika kondisinya pikun, maka tidak ada kewajiban shalat baginya. Jadi, kewajiban shalat bagi orang pikun tergantung kondisinya, kapan ia sadar, kapan tidak. Wallahu aโlam bi ash-shawabi. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid II, hal. 15, Muhammad Zuhaili, Al-Muโtamad fi Al-Fiqh Al-Syafiโi, Jilid I, hal. 244, Abdurrahman Al-Juzairi, Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arbaโah, Jilid I, hal. 770. *Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS. Gratis, lengkap, dan bebas iklan. **Punya pertanyaan terkait Islam? Silakan kirim pertanyaanmu ke [email protected] 7lrN.